= Det's Time =
= Pesen Kamu =
Name :
Web URL :
Message :
:) :( :D :p :(( :)) :x
= Cari Info =
= Where are You? =
= Det's Visitors =
= Det's Banner =
Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket
Select All -> copy -> Paste it on sidebar
=Welcome to Our Guess=
*
*
= Country Visitors =
= Template by =

Free Blogger Templates
Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket
BLOGGER

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket
Friday, December 15, 2006
Ini nih yang namanya adil dlm Poligami....
Wadu...emang edan. Edan ma pemikirannya orang2 liberal yang gak masuk akal. Akhir2 ini di hampir semua stasiun TV nayangin dialog bout poligami. Anehnya, ga ada yang mengupas abis kasus penyebaran video pornonya ME ma YZ. Sebeell... *hehehe...rada esmosi nih ceritanya.... Nah, parahnya lagi stasiun itu dah nyetting sedemikian rupa biar dialog itu gak punya suara bulat ttg poligami. Yang dihadirkan kubu pro yang selalu diwakili ma orang2 pejuang syari'at (ex: MUI, MMI, HTI, en ormas Islam yang ideologis lainnya), melawan kubu kontra poligami, like JIL, Wahid Institute, Ormas pejuang perempuan yang dimotori kaum feminis-liberal. Debatnya seru, rame, penuh dgn emosi. Palagi ketika kubu kontra, yang udah ngerasa terpojok tapi masih tetep bisa berkelit. Bener2 orang yang gak memahami dirinya sebagai makhluk Allah yaa seperti mereka itu. Arah berpikirnya ngalor-ngidul gak ada alurnya. Sukar bisa diterima akal. Bodohnya, ketika mereka berkelit, yang dijadikan pokok bahasan udah gak nyambung. Temanya poligami, tapi mereka ngomongin kekerasan pada anak, KDRT. akhirnya disambung-sambungin kalo Pelecehan pada perempuan, KDRT, kekerasan pada anak adalah akibat poligami. Huu...aneehh kaan..??!! *det jadi tambah bingung bin sebel juga....
Pokoknya kasus poligami ini bener2 bikin geger Indonesia deh... Bahkan sampe ngebuat istana presiden kebakaran jenggot...eh salah ding...kebanjiran sms maksudnya... Bener-bener udah kacau deh...sampe-sampe arah pandang mereka juga ikutan gak karuan. Yang poligami diusik gak karuan, kehidupan privasi orang jadi terbuka. Eeehhh.... kasus perzinahan en perselingkuhan didiamkan gitu aja.... Dongkol juga nih atii... Det bingung aja, gimana pola pikir pemerintah, yang notabene pengayom rakyat??? Inilah klo ideologi yang digunakan adalah ideologi bukan-bukan...gambang banget disetir ma ideologi lain...apalagi dimanfaatin ma ideologi Kapitalis dgn hembusan feminis-gendernya...
Hal ini juga yang membuat det jadi berkeWAJIBan untuk ngasih konfirmasi. Apalagi karena det juga banyak dapet email bout Poligami...so det jawab aja di blog ini. Yaa...bisa dibilang sebagai konferensi pers atas analisa yang det buat bout Poligami yang lagi marak kali ini. *hehehe...sok jadi seleb nih...
Sobat det sealam semesta.....
Memang, kontra terhadap poligami saat ini lebih memenangkan tempat di hati masyarakat khususnya kaum hawa. Ide bahwa perempuan menjadi teraniaya dan poligami amat merugikan perempuan menjadi kegemaran baru. Memang, secara fitrah perempuan tidak bisa disakiti karena halusnya perasaan yang dimiliki. Itulah kenapa kaum hawa amat memerlukan pendamping. Karena lemahnya perempuan,dan terlebih memiliki perasaan yang amat peka. Ini amat berkebalikan dengan ide yang dihembuskan oleh kaum feminis yang mengakui tidak membutuhkan laki-laki. Menyoal tentang poligami seakan tidak akan pernah ada habisnya. Sebagian besar yang menolak karena memandang bahwa tidak ada manusia yang mampu berbuat adil. Nah, keadilan inilah yang menjadi alasan utama beberapa pihak yang menentang poligami. Hal ini jelas keliru, dalam Islam masalah keadilan diperintahkan dalam banyak hal, seperti ketika hakim memutuskan perkara harus adil, bukan hanya masalah poligami. Kalau Allah SWT memerintahkan seperti itu, artinya Allah SWT tahu bahwa manusia bisa berbuat adil. Menganggap manusia tidak bisa berbuat adil berarti melecehkan Allah SWT, seakan-akan Allah SWT tidak tahu tentang kesanggupan manusia. Keadilan yang dituntut atas seorang suami terhadap istri-istrinya bukanlah keadilan yang bersifat mutlak, tetapi keadilan yang memang masih berada dalam batas-batas kemampuannya—sebagai manusia—untuk mewujudkannya. Sebab, Allah Swt. sendiri tidak memberi manusia beban kecuali sebatas kemampuannya. Walhasil, keadilan yang diwajibkan atas suami terhadap istri-istrinya adalah dalam hal-hal yang mampu dilakukankanya sebagai manusia, misalnya dalam giliran menginap; dalam memberi pakaian, makanan, dan tempat tinggal; dsb. Jika seorang suami tidak berlaku adil dalam hal-hal di atas, berarti ia telah bermaksiat kepada Allah. Sebaliknya, yang termasuk dalam kecenderungan, seperti dalam kecintaan dan syahwat, seorang suami tidak dituntut harus adil. Sebab, hal-hal semacam itu termasuk dalam perkara yang sulit untuk diwujudkan.
Nah....gitu deh analisa det bout 'keadilan' yang selalu always gak pernah never dijadikan kambing hitam ma orang-orang feminis-gender untuk melandingkan UU Perkawinan yang melarang poligami. So...debat ttg poligami ini yang harusnya diliat akar persoalan utamanya bukanlah boleh apa nggak poligami itu. Sebagai seorang muslim yang memahami hakekat dia sbg makhluk ciptaan Allah, harusnya wajib meyakini setiap aturan yang udah Dia turunkan pada kita. Kalo Allah membolehkan poligami, kita juga harus mematuhinya. Perkara setuju apa nggak ma poligami itu diterapkan ke diri kita, dikembalikan lagi ma individunya. Klo kita seorang muslimah yang paham bahwa akan ada imbalan dibalik 'berbagi'nya kita atas diri suami, gak akan ada rasa keberatan sedikitpun pada diri kita (kalo det insyaAllah siap yaa...). Nah..klo sebagai suami yang paham gimana kewajiban dia atas istri-istrinya...dia bakal berpikir lebih dalam saat mengambil keputusan tuk ngajuin poligami ke istri pertamanya....
Maybe itu yang bisa det berikan ke sobat det. mo ngasih komentar??? Monggo....
posted by detrevolt_site @ 4:45:00 PM  
1 Comments:
  • At January 11, 2007 3:23 PM, Anonymous Anonymous said…

    Benarkah Poligami Sunah..?
    UNGKAPAN "poligami itu sunah" sering digunakan sebagai pembenaran poligami.
    Namun, berlindung pada pernyataan itu, sebenarnya bentuk lain dari pengalihan tanggung jawab atas tuntutan untuk berlaku adil karena pada kenyataannya, sebagaimana ditegaskan Al Quran, berlaku adil sangat sulit dilakukan (An-Nisa: 129).

    DALIL "poligami adalah sunah" biasanya diajukan karena sandaran kepada teks ayat Al Quran (QS An-Nisa, 4: 2-3) lebih mudah dipatahkan.
    Satu-satunya ayat yang berbicara tentang poligami sebenarnya tidak mengungkapkan hal itu pada konteks memotivasi, apalagi mengapresiasi poligami. Ayat ini meletakkan poligami pada konteks perlindungan terhadap yatim piatu dan janda korban perang.

    Dari kedua ayat itu, beberapa ulama kontemporer, seperti Syekh Muhammad Abduh, Syekh Rashid Ridha, dan Syekh Muhammad al-Madan-ketiganya ulama terkemuka Azhar Mesir-lebih memilih memperketat.

    Lebih jauh Abduh menyatakan, poligami adalah penyimpangan dari relasi perkawinan yang wajar dan hanya dibenarkan secara syar?i dalam keadaan darurat sosial, seperti perang, dengan syarat tidak menimbulkan kerusakan dan kezaliman (Tafsir al-Manar, 4/287).
    Anehnya, ayat tersebut bagi kalangan yang propoligami dipelintir menjadi "hak penuh" laki-laki untuk berpoligami. Dalih mereka, perbuatan itu untuk mengikuti sunah Nabi Muhammad SAW. Menjadi menggelikan ketika praktik poligami bahkan dipakai sebagai tolok ukur keislaman seseorang: semakin aktif berpoligami dianggap semakin baik poisisi keagamaannya. Atau, semakin bersabar seorang istri menerima permaduan, semakin baik kualitas imannya. Slogan-slogan yang sering dimunculkan misalnya, "poligami membawa berkah", atau "poligami itu indah", dan yang lebih populer adalah "poligami itu sunah".

    Dalam definisi fikih, sunah berarti tindakan yang baik untuk dilakukan. Umumnya mengacu kepada perilaku Nabi. Namun, amalan poligami, yang dinisbatkan kepada Nabi, ini jelas sangat distorsif. Alasannya, jika memang dianggap sunah, mengapa Nabi tidak melakukannya sejak pertama kali berumah tangga? Nyatanya, sepanjang hayatnya, Nabi lebih lama bermonogami daripada berpoligami. Bayangkan, monogami dilakukan Nabi di tengah masyarakat yang menganggap poligami adalah lumrah. Rumah tangga Nabi SAW bersama istri tunggalnya, Khadijah binti Khuwalid RA, berlangsung selama 28 tahun. Baru kemudian, dua tahun sepeninggal Khadijah, Nabi berpoligami. Itu pun dijalani hanya sekitar delapan tahun dari sisa hidup beliau. Dari kalkulasi ini, sebenarnya tidak beralasan pernyataan "poligami itu sunah".

    Sunah, seperti yang didefinisikan Imam Syafi?i (w. 204 H), adalah penerapan Nabi SAW terhadap wahyu yang diturunkan. Pada kasus poligami Nabi sedang mengejawantahkan Ayat An-Nisa 2-3 mengenai perlindungan terhadap janda mati dan anak-anak yatim. Dengan menelusuri kitab Jami? al-Ushul (kompilasi dari enam kitab hadis ternama) karya Imam Ibn al-Atsir (544-606H), kita dapat menemukan bukti bahwa poligami Nabi adalah media untuk menyelesaikan persoalan sosial saat itu, ketika lembaga sosial yang ada belum cukup kukuh untuk solusi.

    Bukti bahwa perkawinan Nabi untuk penyelesaian problem sosial bisa dilihat pada teks-teks hadis yang membicarakan perkawinan-perkawin an Nabi. Kebanyakan dari mereka adalah janda mati, kecuali Aisyah binti Abu Bakr RA.

    Selain itu, sebagai rekaman sejarah jurisprudensi Islam, ungkapan "poligami itu sunah" juga merupakan reduksi yang sangat besar. Nikah saja, menurut fikih, memiliki berbagai predikat hukum, tergantung kondisi calon suami, calon istri, atau kondisi masyarakatnya. Nikah bisa wajib, sunah, mubah (boleh), atau sekadar diizinkan. Bahkan, Imam al-Alusi dalam tafsirnya, Rûh al-Ma?âni, menyatakan, nikah bisa diharamkan ketika calon suami tahu dirinya tidak akan bisa memenuhi hak-hak istri, apalagi sampai menyakiti dan mencelakakannya. Demikian halnya dengan poligami. Karena itu, Muhammad Abduh dengan melihat kondisi Mesir saat itu, lebih memilih mengharamkan poligami.

    Nabi dan larangan poligami Dalam kitab Ibn al-Atsir, poligami yang dilakukan Nabi adalah upaya transformasi sosial (lihat pada Jâmi? al-Ushûl, juz XII, 108-179). Mekanisme poligami yang diterapkan Nabi merupakan strategi untuk meningkatkan kedudukan perempuan dalam tradisi feodal Arab pada abad ke-7 Masehi. Saat itu, nilai sosial seorang perempuan dan janda sedemikian rendah sehingga seorang laki-laki dapat beristri sebanyak mereka suka.

    Sebaliknya, yang dilakukan Nabi adalah membatasi praktik poligami, mengkritik perilaku sewenang-wenang, dan menegaskan keharusan berlaku adil dalam berpoligami. Ketika Nabi melihat sebagian sahabat telah mengawini delapan sampai sepuluh perempuan, mereka diminta menceraikan dan menyisakan hanya empat. Itulah yang dilakukan Nabi kepada Ghilan bin Salamah ats-Tsaqafi RA, Wahb al-Asadi, dan Qais bin al-Harits. Dan, inilah pernyataan eksplisit dalam pembatasan terhadap kebiasan poligami yang awalnya tanpa batas sama sekali.

    Pada banyak kesempatan, Nabi justru lebih banyak menekankan prinsip keadilan berpoligami. Dalam sebuah ungkapan dinyatakan: "Barang siapa yang mengawini dua perempuan, sedangkan ia tidak bisa berbuat adil kepada keduanya, pada hari akhirat nanti separuh tubuhnya akan lepas dan terputus" (Jâmi? al-Ushûl, juz XII, 168, nomor hadis: 9049). Bahkan, dalam berbagai kesempatan, Nabi SAW menekankan pentingnya bersikap sabar dan menjaga perasaan istri.

    Teks-teks hadis poligami sebenarnya mengarah kepada kritik, pelurusan, dan pengembalian pada prinsip keadilan. Dari sudut ini, pernyataan "poligami itu sunah" sangat bertentangan dengan apa yang disampaikan Nabi. Apalagi dengan melihat pernyataan dan sikap Nabi yang sangat tegas menolak poligami Ali bin Abi Thalib RA. Anehnya, teks hadis ini jarang dimunculkan kalangan propoligami. Padahal, teks ini diriwayatkan para ulama hadis terkemuka: Bukhari, Muslim, Turmudzi, dan Ibn Majah.

    Nabi SAW marah besar ketika mendengar putri beliau, Fathimah binti Muhammad SAW, akan dipoligami Ali bin Abi Thalib RA. Ketika mendengar rencana itu, Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru: "Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilakan mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga." (Jâmi? al-Ushûl, juz XII, 162, nomor hadis: 9026).

    Sama dengan Nabi yang berbicara tentang Fathimah, hampir setiap orangtua tidak akan rela jika putrinya dimadu. Seperti dikatakan Nabi, poligami akan menyakiti hati perempuan, dan juga menyakiti hati orangtuanya.

    Jika pernyataan Nabi ini dijadikan dasar, maka bisa dipastikan yang sunah justru adalah tidak mempraktikkan poligami karena itu yang tidak dikehendaki Nabi. Dan, Ali bin Abi Thalib RA sendiri tetap bermonogami sampai Fathimah RA wafat.

    Poligami tak butuh dukungan teks

    Sebenarnya, praktik poligami bukanlah persoalan teks, berkah, apalagi sunah, melainkan persoalan budaya. Dalam pemahaman budaya, praktik poligami dapat dilihat dari tingkatan sosial yang berbeda.
    Bagi kalangan miskin atau petani dalam tradisi agraris, poligami dianggap sebagai strategi pertahanan hidup untuk penghematan pengelolaan sumber daya. Tanpa susah payah, lewat poligami akan diperoleh tenaga kerja ganda tanpa upah. Kultur ini dibawa migrasi ke kota meskipun stuktur masyarakat telah berubah. Sementara untuk kalangan priayi, poligami tak lain dari bentuk pembendamatian perempuan. Ia disepadankan dengan harta dan takhta yang berguna untuk mendukung penyempurnaan derajat sosial lelaki.

    Dari cara pandang budaya memang menjadi jelas bahwa poligami merupakan proses dehumanisasi perempuan. Mengambil pandangan ahli pendidikan Freire, dehumanisasi dalam konteks poligami terlihat mana kala perempuan yang dipoligami mengalami self-depreciation. Mereka membenarkan, bahkan bersetuju dengan tindakan poligami meskipun mengalami penderitaan lahir batin luar biasa. Tak sedikit di antara mereka yang menganggap penderitaan itu adalah pengorbanan yang sudah sepatutnya dijalani, atau poligami itu terjadi karena kesalahannya sendiri.

    Dalam kerangka demografi, para pelaku poligami kerap mengemukakan argumen statistik. Bahwa apa yang mereka lakukan hanyalah kerja bakti untuk menutupi kesenjangan jumlah penduduk yang tidak seimbang antara lelaki dan perempuan. Tentu saja argumen ini malah menjadi bahan tertawaan. Sebab, secara statistik, meskipun jumlah perempuan sedikit lebih tinggi, namun itu hanya terjadi pada usia di atas 65 tahun atau di bawah 20 tahun. Bahkan, di dalam kelompok umur 25-29 tahun, 30-34 tahun, dan 45-49 tahun jumlah lelaki lebih tinggi. (Sensus DKI dan Nasional tahun 2000; terima kasih kepada lembaga penelitian IHS yang telah memasok data ini).

    Namun, jika argumen agama akan digunakan, maka sebagaimana prinsip yang dikandung dari teks-teks keagamaan itu, dasar poligami seharusnya dilihat sebagai jalan darurat. Dalam kaidah fikih, kedaruratan memang diperkenankan. Ini sama halnya dengan memakan bangkai; suatu tindakan yang dibenarkan manakala tidak ada yang lain yang bisa dimakan kecuali bangkai.

    Dalam karakter fikih Islam, sebenarnya pilihan monogami atau poligami dianggap persoalan parsial. Predikat hukumnya akan mengikuti kondisi ruang dan waktu. Perilaku Nabi sendiri menunjukkan betapa persoalan ini bisa berbeda dan berubah dari satu kondisi ke kondisi lain. Karena itu, pilihan monogami-poligami bukanlah sesuatu yang prinsip. Yang prinsip adalah keharusan untuk selalu merujuk pada prinsip-prinsip dasar syariah, yaitu keadilan, membawa kemaslahatan dan tidak mendatangkan mudarat atau kerusakan (mafsadah).

    Dan, manakala diterapkan, maka untuk mengidentifikasi nilai-nilai prinsipal dalam kaitannya dengan praktik poligami ini, semestinya perempuan diletakkan sebagai subyek penentu keadilan. Ini prinsip karena merekalah yang secara langsung menerima akibat poligami. Dan, untuk pengujian nilai-nilai ini haruslah dilakukan secara empiris, interdisipliner, dan obyektif dengan melihat efek poligami dalam realitas sosial masyarakat.
    Dan, ketika ukuran itu diterapkan, sebagaimaan disaksikan Muhammad Abduh, ternyata yang terjadi lebih banyak menghasilkan keburukan daripada kebaikan. Karena itulah Abduh kemudian meminta pelarangan poligami.

    Dalam konteks ini, Abduh menyitir teks hadis Nabi SAW: "Tidak dibenarkan segala bentuk kerusakan (dharar) terhadap diri atau orang lain." (Jâmi?a al-Ushûl, VII, 412, nomor hadis: 4926). Ungkapan ini tentu lebih prinsip dari pernyataan "poligami itu sunah". Faqihuddin Abdul Kodir Dosen STAIN Cirebon dan peneliti Fahmina Institute Cirebon, Alumnus Fakultas Syariah Universitas Damaskus, Suriah

     
Post a Comment
<< Home
 
= Det's Profile =

Name: detrevolt_site
Home: Surabaya, East Java, Indonesia
About Me: This my site...story and my opinion-ideology site...so..if u dont mind..i'm so sorry... Karena saya hanyalah seorang manusia lemah yang masih butuh banyak belajar....
See my complete profile
= Hadith =
"Setiap amal itu ada masa semangatnya, dan pada setiap masa semangat itu ada masa futur (bosan). Barangsiapa yang ketika futur tetap berpegang kepada sunnahku, maka sesungguhnya ia telah memperoleh petunjuk dan barangsiapa yang ketika futur berpegang kepada selain sunnahku, maka sesungguhnya ia telah tersesat?" (HR al-Bazaar)

= Previous Post =
= Archives =
= Det's Links =
= Det's Friends =